Sabtu, 22 September 2007

Mengenal Punakawan

Sebagai penggemar wayang, saya menyadari terdapat beberapa tokoh pewayangan yang dianggap sebagai bumbu “lelucon”, agar wayang dapat dinikmati oleh semua orang, tokoh pewayangan tersebut biasa disebut punakawan. Kalau diistilahkan dalam kata-kata sehari kita berarti rakyat kecil atau bisa juga pembantu

Meskipun lakon yang dipentaskan dalam pertunjukan wayang dimanapun hampir serupa, yakni Mahabharata dan Ramayana dalam Wayang Purwa, namun ada ciri khas yang mungkin hanya ditemui di Indonesia, yakni dengan adanya punakawan. Dan saya khususkan pada punakawan wayang Jawa, bukan daerah lainnya. Punakawan sendiri merupakan perlambang ‘bahasa halus dan komunikatif’ yang dipakai oleh para wali untuk mendekatkan diri dengan masyarakat Jawa serta pas dengan mereka yang beraneka ragam. Bahkan tokoh-tokoh punakawan tersebut mempunyai peran lebih besar ketimbang wayang-wayang lainnya, dan biasanya dipentaskan pada saat goro-goro, yakni babak pertunjukan yang disertai lelucon (kelakar) dan wejangan (petuah) serta menjadi babak interaksi antara dalang dan penonton. Selain itu juga, babak goro-goro ini digunakan untuk memperjelas jalan cerita yang tidak bisa dipahami oleh kalangan awam.

Dalam wayang Jawa, punakawan terdiri dari :

  1. Semar Badranaya
  2. Petruk
  3. Bagong
  4. Nala Gareng

Unsur Islami sebenarnya sangat kental dalam karakter punakawan, bagaimana tidak? Para wali membuat lakon-lakon tersebut untuk menyebarkan syiar-syiar Islam dengan cara akulturasi sehingga pesan-pesan dalam agama Islam sendiri dapat sampai ke masyarakat Jawa yang pada masa itu masih menganut Hindu-Budha dan animisme. Seperti dalam lakon semar, dalam cerita dia adalah pendamping setia para Pandawa dan lurah dari desa Karang Tumaritis yang masih menjadi wilayah kerajaan Amarta pimpinan Raja Yudistira. Dialah yang membawa pusaka jimat Kalimosodo atau Pusaka Hyang Kalimosodo.

Selain sebagai penasihat, punakawan juga berperan sebagai pengemong ( pengasuh) , penghibur, kritikus sosial, badut, serta bahkan sumber kebenaran dan kebijakan.

Jika ditilik, ternyata istilah Petruk, Bagong, Gareng dan Semar sebenarnya berakar dari kata-kata bahasa Arab. Seperti berikut ini

Semar Badranaya

Dalam cerita, dia adalah pengasuh utama para Pandawa. Bila didampingi olehnya, maka yang didampingi tidak akan menghadapi malapetaka. Wujudnya jelek : wajah tua namun berkuncung seperti anak kecil, tidak jelas laki perempuannya, mulut tersenyum tetapi matanya mbrebes mili (menitikkan airmata) yang perlambang keseimbangan.

Semar berasal dari kata bahasa Arab yakni Ismar yang dalam lidah Jawa menjadi Semar. Sedang Ismar sendiri berarti paku, dimana fungsinya adalah sebagai pengokoh dan melambangkan pedoman hidup manusia. Apakah pedoman hidup manusia itu? Tiada lain tiada bukan adalah agama. Oleh karenanya, Semar bukanlah tokoh yang harus dipuja bahkan didewakan sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok kepercayaan, namun penciptaan lakon ini didasarkan pada pelambangan agama sebagai pedoman hidup manusia.

Sedang kata Badranaya berasal dari kata Badra yang berarti kebahagiaan dan Naya berarti kebijaksanaan (wisdom). Maksudnya adalah memimpin dengan bijaksana serta menggiring masyarakat untuk beribadah kepada Allah SWT. Negara akan stabil bila Semar bersemayam di Pertapaan Kandang Penyu, dimana maksudnya adalah penyu(wunan) atau permohonan kepada Allah SWT. Dimana makna dakwahnya sangat jelas dan dijabarkan oleh penciptanya yakni para Wali.

Petruk

Kata Petruk sendiri berasal dari kata Fatruk yang dicukil dari kalimat Tasawuf Fat-ruk kulla maa siwallahi yang artinya tinggalkan semua apapun selain Allah. Wejangan atau petuah semacam inilah yang menjadi watak para wali dan mubaligh pada masa itu. Petruk juga dijuluki sebagai kantong bolong (kantung berlubang) yang bermakna setiap manusia harus berzakat dan menyerahkan jiwa raganya kepada Allah semata secara ikhlas, tanpa pamrih seperti berlubangnya kantung tanpa penghalang.

Bagong

Bagong sendiri berasal dari kata Baghaa yang berarti memberontak melawan kelaliman dan kezaliman, yang dalam versi lain berakar dari kata Baqa’ yang bermakna kelanggengan atau keabadian, dimana setiap manusia tempatnya adalah di akhirat dan dunia adalah tempat mampir ngombe (tempat menumpang minum belaka).

Gareng

Gareng atau Nala Gareng berasal dari kata Naala Qariin yang bermakna memperoleh banyak teman, dimana maksudnya adalah sesuai dengan dakwah para wali dalam memperoleh teman (umat) sebanyak-banyaknya untuk kembali ke jalan Allah SWT dengan sikap arif dan harapan yang baik.

Dari sekian sudut pandang tentang para punakawan ini, saya cenderung lebih memilih sisi pandang para Wali. Ini dikarenakan punakawan dipercaya adalah buatan para Wali Songo khususnya Sunan Kalijaga dalam menyebarkan Islam didalam masyarakat Jawa pada masa itu, karena dimasa-masa tersebut, dalam mendakwahkan untuk masyarakat Jawa yang masih kental animisme-dinamismenya, harus menggunakan trik budaya dalam menyampaikan Islam.

Memang ada yang memandang Semar –misalnya- adalah Dewa asli orang Jawa dengan nama Hyang Bambang Ismaya. Namun bagi saya secara pribadi, makna Islami sangat kuat –yang barangkali kurang disetujui lainnya- dalam setiap watak punakawan, dan saya tidak melihat harus ada sesaji tidaknya, karena bukan kapasitas saya membicarakan hal tersebut. Mungkin ada yang anti wayang karena dianggap berbau mistik, tapi itu bebas merdeka terserah mereka. Tentu saja terbungkus samar dalam konteks Jawa.

Barangkali peran punakawan harus dikembangkan lagi dalam wujud dakwah yang sesuai dengan masa sekarang, karena bagaimanapun itulah sumbangan budaya yang besar bagi perkembangan Islam khususnya di tanah Jawa.

MATUR SEMBAH NUWUN….

Tidak ada komentar: